Santun Berbahasa

Catatan Parenting - Santun Berbahasa.

Oleh: Ida S. Widayanti
(Penulis Buku Parenting Mendidik Karakter dengan Karakter)

Santun Berbahasa

"…maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (Al-Israa' [17]: 23)

Di sebuah tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), seorang anak berusia dua tahun berkata pada temannya, "Aku sayang kamu, di saat sedih maupun gembira!"

Tentu saja gurunya merasa heran dan melaporkan hal itu pada ibu anak tersebut. Si ibu tersenyum dan berkata bahwa kata-kata tersebut berasal dari sebuah buku kesayangan si anak. Ia kerap meminta ibunya untuk membacakan buku tersebut saat si anak bermain atau menjelang tidur.

Tidak saja gurunya, bahkan ibunya pun sering terkaget-kaget sekaligus terharu saat mendengar kalimat tersebut diungkapkan sang anak pada dirinya. Di lain kesempatan, anak itu berbicara pada kakaknya, "Maaf Kakak, itu tidak sopan!" saat ia mendengar ucapan kakaknya yang memang kurang nyaman didengar.

Gurunya bertanya kepada si ibu, apa rahasia mendidik anak yang santun berbahasa tersebut? Menurut sang ibu, anak tersebut sering diajak berbicara dengan bahasa positif dan dalam suasana nyaman. Selain itu, si ibu juga sering membacakan cerita, puisi atau lagu-lagu yang berbahasa indah.

Ayat yang dikutip di awal tulisan ini dengan sangat gamblang melarang seorang anak berbicara kasar pada orangtuanya. Bahkan hanya perkataan 'ah' pun dilarang. Namun jika kita melihat realita saat ini sungguh bertolak belakang. Cermati gaya bicara anak-anak remaja, baik saat mereka berbicara maupun di jejaring sosial. Tak jarang mereka mengumpat dengan kasar juga mengolok-olok, bahkan pada orangtua mereka sendiri.

Ada yang salah dalam masyarakat kita saat ini. Menurut Thomas Lickona 'penggunaan kata-kata yang memburuk' merupakan salah satu aspek yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Dengan demikian memburuknya berbahasa menjadi indikator kestabilan sebuah negara.

Bagaimana mengajarkan anak agar berbicara dengan santun? Menurut Joseph Joubert, "Children need models more than they need critics." Artinya, anak lebih membutuhkan contoh daripada teguran atau kritikan. Terus usahakan agar anak mendengar kalimat-kalimat yang santun dan positif, niscaya mereka juga akan mengeluarkan kata-kata yang juga santun dan positif. Namun sayang, televisi dan lingkungan justru mengajarkan sebaliknya. Bahkan orangtua juga cenderung berkomentar negatif pada anak. Sebagai gambaran, hasil penemuan Jack Canfield, penulis terkenal, menunjukkan data mencengangkan bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif.

Apa yang dikatakan Joseph Joubert sesungguhnya seperti itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengajar. Rasulullah adalah teladan yang baik, artinya contoh nyata dari apa yang diajarkannya. Rasulullah tidak hanya menyuruh dan melarang, namun melakukan semua kebaikan. Dalam hal berbicara pun Rasulullah mencontohkan berbahasa yang santun.

Jika melihat hal tersebut, sepertinya mindset kita tentang ayat di atas perlu kita ubah. Ayat tersebut adalah secara tidak langsung merupakan perintah pada orangtua agar mendidik anak sehingga kelak mereka tidak berbicara kasar, membentak, atau berkata 'ah'. Ayat tersebut secara implisit menyatakan bahwa orangtua agar memberi contoh perkataan mulia dan santun.

Sumber: Majalah Suara Hidayatullah, Nopember 2011
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url